TERAPI INHALASI RESPIRATORY


1. PENDAHULUAN

Terapi inhalasi merupakan satu teknik pengobatan penting dalam proses pengobatan penyakit respiratori (saluran pernafasan) akut dan kronik. Penumpukan mukus di dalam saluran napas, peradangan dan pengecilan saluran napas ketika serangan asma dapat dikurangi secara cepat dengan obat dan teknik penggunaan inhaler yang sesuai. 1

Setelah sekian lama, terapi inhalasi memainkan peranan penting di dalam merawat penyakit asma dan penyakit paru lainnya. Obat yang diberikan dengan cara ini absorpsi terjadi secara cepat karena permukaan absorpsinya luas, terhindar dari eliminasi lintas pertama di hati, dan pada penyakit paru-paru misalnya asma bronkial, obat dapat diberikan langsung pada bronkus. Tidak seperti penggunaan obat secara oral (tablet dan sirup) yang terpaksa melalui sistem penghadangan oleh pelbagai sistem tubuh, seperti eleminasi di hati. 1,2

Terapi inhalasi dapat menghantarkan obat langsung ke paru-paru untuk segera bekerja. Dengan demikian, efek samping dapat dikurangi dan jumlah obat yang perlu diberikan adalah lebih sedikit dibanding cara pemberian lainnya. Sayangnya pada cara pemberian ini diperlukan alat dan metoda khusus yang agak sulit dikerjakan, sukar mengatur dosis, dan sering obatnya mengiritasi epitel paru. 1,2

2.   DEFINISI

Terapi inhalasi adalah pemberian obat ke dalam saluran napas dengan cara inhalasi. 3

Terapi inhalasi juga dapat diartikan sebagai suatu pengobatan yang ditujukan untuk mengembalikan perubahan-perubahan patofisiologi pertukaran gas sistem kardiopulmoner ke arah yang normal, seperti dengan menggunakan respirator atau alat penghasil aerosol. 4

3.   TINJAUAN ANATOMI-FISIOLOGIS SALURAN NAPAS

Untuk memahami tentang penggunaan serta farmakokinetik (terutama absorpsi dan bioavailabilitas) dan farmakodinamik obat secara inhalasi, sebelumnya kita harus memahami anatomi dan fisiologi pernapasan terlebih dahulu.

Secara fungsional saluran pernapasan dibagi atas bagian yang berfungsi sebagai konduksi (penghantar udara) dan bagian yang berfungsi sebagai respirasi (pertukaran gas). Pada bagian konduksi, udara bolak-balik di antara atmosfir dan jalan napas seakan organ ini tidak berfungsi (dead space), akan tetapi organ tersebut selain sebagai konduksi juga berfungsi sebagai proteksi dan pengaturan kelembaban udara. Adapun yang termasuk ke dalam konduksi adalah rongga hidung, rongga mulut, faring, laring, trakea, sinus bronkur dan bronkiolus nonrespiratorius. 5

Pada bagian respirasi akan terjadi pertukaran udara (difus) yang sering disebut dengan unit paru (lung unit), yang terdiri dari bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris, atrium dan sakus alveolaris. 5

Secara histologis epitel yang melapisi permukaan saluran pernapasan terdiri dari epitel gepeng berlapis berkeratin dan tanpa keratin di bagian rongga mulut; epitel silindris bertingkat bersilia pada rongga hidung, trakea, dan bronkus; epitel silindris rendah/kuboid bersilia dengan sel piala pada bronkiolus terminalis; epitel kuboid selapis bersilia pada bronkiolus respiratorius; dan epitel gepeng selapis pada duktus alveolaris dan sakus alveolaris serta alveolus. Di bawah lapisan epitel tersebut terdapat lamina propria yang berisi kelenjar-kelenjar, pembuluh darah, serabut saraf dan kartilago. Dan berikutnya terdapat otot polos dan serabut elastin. 6

Dari semua itu barulah kita pahami bagaimana obat dapat masuk dan bekerja pada paru-paru. Obat masuk dengan perantara udara pernapasan (mekanisme inspirasi dan ekspirasi) melalui saluran pernapasan, kemudian menempel pada epitel selanjutnya diabsorpsi dan sampai pada target organ bisa berupa pembuluh darah, kelenjar dan otot polos.

Agar obat dapat sampai pada saluran napas bagian distal dan mencapai target organ, maka ukuran partikel obat harus disesuaikan dengan ukuran/diameter saluran napas.

4.   TUJUAN DAN SASARAN

Karena terapi inhalasi obat dapat langsung pada sasaran dan absorpsinya terjadi secara cepat dibanding cara sistemik, maka penggunaan terapi inhalasi sangat bermanfaat pada keadaan serangan yang membutuhkan pengobatan segera dan untuk menghindari efek samping sistemik yang ditimbulkannya.

Biasanya terapi inhalasi ditujukan untuk mengatasi bronkospasme, meng-encerkan sputum, menurunkan hipereaktiviti bronkus, serta mengatasi infeksi. Terapi inhalasi ini baik digunakan pada terapi jangka panjang untuk menghindari efek samping sistemik yang ditimbulkan obat, terutama penggunaan kortikosteroid. 3

5.   INDIKASI

Penggunaan terapi inhalasi ini diindikasikan untuk pengobatan asma, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), sindrom obstruktif post tuberkulosis, fibrosis kistik, bronkiektasis, keadaan atau penyakit lain dengan sputum yang kental dan lengket. 3

Penggunaannya terbatas hanya untuk obat-obat yang berbentuk gas atau cairan yang mudah menguap dan obat lain yang berbentuk aerosol. 2

Pada penyakit Asma dan Chronic Obstructive pulmonal disease (COPD = PPOK & PPOM) terapi inhalasi merupakan terapi pilihan. 7 Dengan terapi inhalasi obat dapat masuk sesuai dengan dosis yang diinginkan, langsung berefek pada organ sasaran. Dari segi kenyamanan dalam penggunaan, cara terapi MDI banyak disukai pasien karena obat dapat mudah di bawa ke mana-mana. Kemasan obat juga menguntungkan karena dalam satu botol bisa dipakai untuk 30 atau sampai 90 hari penggunaan. 8

6.   KONTRA INDIKASI

Kontra indikasi mutlak pada terapi inhalasi tidak ada. Indikasi relatif pada pasien dengan alergi terhadap bahan atau obat yang digunakan. 3

7.   CARA PENGGUNAAN BERBAGAI TERAPI INHALASI

Ada beberapa cara dalam terapi inhalasi, yaitu (1) inhaler dosis terukur (MDI, metered dose inhaler), (2) penguapan (gas powered hand held nebulizer), (3) inhalasi dengan intermitten positive pressure breathing (IPPB), serta (4) pemberian melalui intubasi pada pasien yang menggunakan ventilator. 3,7

7.1. INHALER DOSIS TERUKUR

Inhaler dosis terukur atau lebih sering disebut MDI diberikan dalam bentuk inhaler aerosol dengan/tanpa spacer dan bubuk halus (dry powder inhaler) yaitu diskhaler, rotahaler, dan turbohaler. Pada umumnya digunakan pada pasien yang sedang berobat jalan dan jarang dipergunakan di rumah sakit. Cara ini sangat mudah dan dapat dibawa kemana-mana oleh pasien, sehingga menjadi pilihan utama pagi penderita asma. 1,3,7

MDI terdiri atas 2 bagian, yaitu bagian kotak yang mengandung zat dan bagian mouthpiece. Bila bagian kotak yang mengandung zat ini dibuka (ditekan), maka inhaler akan keluar melalui mouthpiece. 1,7

Pemakaian inhaler aerosol. Inhaler dikocok lebih dahulu agar obat homogen, lalu tutupnya dibuka à inhaler dipegang tegak, kemudian dilakukan maksimal ekspirasi pelan-pelan à mulut inhaler diletakan di antara kedua bibir, lalu katupkan kedua bibir dan lakukan inspirasi pelan-peran. Pada waktu yang sama kanester ditekan untuk mengeluarkan obat tersebut dan penarikan napas diteruskan sedalam-dalamnya à tahan napas sampai 10 detik atau hitungan 10 kali dalam hati. Prosedur tadi dapat diulangi setelah 30 detik sampai 1 menit kemudian tergantung dosis yang diberikan oleh dokter. 1,3

Pemakaian inhaler aerosol dengan ruang antara (spacer). Inhaler dikocok lebih dahulu dan buka tutupnya, kemudian mulut inhaler dimasukan ke dalam lubang ruang antara à mouth piece diletakan di antara kedua bibir, lalu kedua bibir dikatupkan, pastikan tidak ada kebocoran à tangan kiri memegang spacer, dan tangan kanan memegang kanester inhaler à tekan kanester sehingga obat akan masuk ke dalam spacer, kemudian tarik napas perlahan dan dalam, tahan napas sejenak, lalu keluarkan napas lagi. Hal ini bisa diulang sampai merasa yakin obat sudah terhirup habis. 3

Pemakaian diskhaler. Lepaskan tutup pelindung diskhaler, pegang kedua sudut tajam, tarik sampai tombol terlihat à tekan kedua tombol dan keluarkan talam bersamaan rodanya à letakkan diskhaler pada roda, angka 2 dan 3 letakkan di depan bagian mouth piece à masukan talam kembali, letakan mendatar dan tarik penutup sampai tegak lurus dan tutup kembali à keluarkan napas, masukan diskhaler dan rapatkan bibir, jangan menutupi lubang udara, bernapas melalui mulut sepat dan dalam, kemudian tahan napas, lalu keluarkan napas perlahan-lahan. à putar diskhaler dosis berikut dengan menarik talam keluar dan masukan kembali. 3

Pemakaian rotahaler. Pegang bagian mulut rotahaler secara vertikal, tangan lain memutar badan rotahaler sampai terbuka à masukan rotacaps dengan sekali menekan secara tepat ke dalam lubang epat persegi sehingga puncak rotacaps berada pada permukaan lubang à pegang permukaan rotahaler secara horizontal dengan titik putih di atas dan putar badan rotahaler berlawanan arah sampai maksimal untuk membuka rotacaps à keluarkan napas semaksimal mungkin di luar rotahaler, masukan rotahaler dan rapatkan bibir dengan kepala agak ditinggikan dengan kepala agak ditengadahkan ke belakang à hiruplah dengan kuat dan dalam, kemudian tahan napas selama mungkin. à lalu keluarkan rotahaler dari mulut, sambil keluarkan napas secara perlahan-lahan. 3

Pemakaian turbohaler. Putar dan lepas penutup turbohaler à pegang turbohaler dengan tangan kiri dan menghadap atas lalu dengan tangan kanan putar pegangan (grip) ke arah kanan sejauh mungkin kemudian putar kembali keposisi semula sampai terdengar suara klik à hembuskan napas maksimal di luar turbohaler à letakkan mouth piece di antara gigi, rapatkan kedua bibir sehingga tidak ada kebocoran di sekitar mouth piece kemudian tarik napas dengan tenang sekuat dan sedalam mungkin à sebelum menghembuskan napas, keluarkan turbohaler dari mulut. Jika yang diberikan lebih dari satu dosis ulangi tahapan 2 – 5 (tanda panah) dengan selang waktu 1 – 2 menit – pasang kembali tutupnya. 3

Setelah penggunaan inhaler. Basuh dan kumur dengan menggunakan air. Ini untuk mengurangi/menghilangkan obat yang tertinggal di dalam rongga mulut dan tenggorokan, juga untuk mencegah timbulnya penyakit di mulut akibat efek obat (terutama kortikosteroid). 1

Cara mencuci. Kegagalan mencuci inhaler dengan cara yang benar akan menimbulkan sumbatan dan pada akhirnya dapat mengurangi jumlah/dosis obat. Cusi bekar serbuk yang tertinggal di corong inhaler. Keluarkan belas obat dan basuh inhaler dengan air hangat dengan sedikit sabun. Keringkan dan masukan kembali ke dalam tempatnya. 1

Bagaimana cara untuk mengetahui inhaler sudah kosong. Setiap inhaler telah dilabelkan dengan jumlah dos yang ada. Contoh di bawah akan menerangkan bagaimana untuk menentukan kandungan obat di dalam inhaler. Jika botol obat mengandungi 200 hisapan dan kita harus mengambil 8 hisapan sehari, maka obat habis dalam 25 hari. Jika kita mula menggunakan inhaler pada tanggal 1 Mei, maka gantikan inhaler tersebut dengan yang baru pada/atau sebelum tanggal 25 Mei. Tulis tanggal mula menggunakan inhaler pada botol obat untuk menghindari kesalahan.

Kandungan inhaler juga boleh diperkirakan dengan cara memasukkan botol obat ke dalam air. Kedudukan botol obat di dalam air menggambarkan kandungan obat dalam inhaler.

7.2. PENGUAPAN (NEBULIZER)

Cara ini digunakan dengan memakai disposible nebulizer mouth piece dan pemompaan udara (pressurizer) atau oksigen. Larutan nebulizer diletakan di dalam nebulizer chamber. Cara ini memerlukan latihan khusus dan banyak digunakan di rumah sakit. Keuntungan dengan cara ini adalah dapat digunakan dengan larutan yang lebih tinggi konsentrasinya dari MDI. Kerugiannya adalah hanya 50 – 70% saja yang berubah menjadi aerosol, dan sisanya terperangkap di dalam nebulizer itu sendiri. 7

Jumlah cairan yang terdapat di dalam hand held nebulizer adalah 4 cc dengan kecepatan gas 6 – 8 liter/menit. Biasanya dalam penggunaannya digabung dalam mukolitik (asetilsistein) atau natrium bikarbonat. Untuk pengenceran biasanya digunakan larutan NaCl. 1,7

Cara menggunakannya yaitu: Buka tutup tabung obat, masukan cairan obat ke dalam alat penguap sesuai dosis yang ditentukan à gunakan mouth piece atau masker (sesuai kondisi pasien). Tekan tombol “on” pada nebulizer à jika memakai masker, maka uap yang keluar dihirup perlahan-lahan dan dalam inhalasi ini dilakukan terus menerus sampai obat habismasker. Bila memakai mouth piece, maka tombol pengeluaran aerosol ditekan sewaktu inspirasi, hirup uap yang keluar perlahan-lahan dan dalam. Hal ini dilakukan berulang-ulang sampai obat habis (10 – 15 menit). 3

Beberapa contoh jenis nebulizer antara lain: Simple nebulizer; Jet nebulizer, menghasilkan partikel yang lebih halus, yakni antara 2 – 8 mikron. Biasanya tipe ini mempunyai tabel dan paling banyak dipakai di rumah sakit. Beberapa bentuk jet nebulizer dapat pula diubah sesuai dengan keperluan, sehingga dapat digunakan pada ventilator dan IPPB, dimana dihubungkan dengan gas kompresor. 7

Ultrasonik nebulizer, alat tipe ini menggunakan frekuensi vibrator yang tinggi, sehingga dengan mudah dapat mengubah cairan menjadi partikel kecil yang bervolume tinggi, yakni mencapai 6 cc/menit dengan partikel yang uniform. Besarnya partikel adalah 5 mikron dan partikel dengan mudah masuk ke saluran pernapasan, sehingga dapat terjadi reaksi, seperti bronkospasme dan dispnoe. Oleh karena itu alat ini hanya dipakai secara intermiten, yakni untuk menghasilkan sputum dalam masa yang pendek pada pasien dengan sputum yang kental. 7

Antomizer nebulizer, partikel yang dihasilkan cukup besar, yakni antara 10 – 30 mikron. Digunakan untuk pengobatan laring, terutama pada pasien dengan intubasi trakea.7

7.3. INTERMITEN POSITIVE PRESSURE BREATHING

Cara ini biasanya diberikan di rumah sakit dan memerlukan tenaga yang terlatih. Cara ini jauh lebih mahal dan mempunyai indikasi yang terbatas, terutama untuk pasien yang tidak dapat bernapas dalam dan pasien-pasien yang sedang dalam keadaan gawat yang tidak dapat bernapas spontan. Untuk pengobatan di rumah cara yang terbaik adalah dengan menggunakan MDI. 7

7.4. VENTILATOR

Dapat dengan menggunakan MDI atau hand held nebulizer, yakni melalui bronkodilator Tee. Dengan cara ini sebenarnya tidak efektif oleh karena banyak aerosol yang mengendap, sehingga cara ini dianggap kurang efektif dibandingkan dengan MDI. 7

8.   AEROSOL DAN KEBERHASILAN TERAPI

Berhasil atau tidaknya pengobatan aerosol ini tergantung pada beberapa faktor, yaitu: Ukuran partikel. Partikel dengan ukuran 8 – 15 mikron dapat sampai ke bronkus dan bronkiolus, sedangkan partikel dengan ukuran 2 mikron dapat sampai le alveolus. Akan tetapi partikel dengan ukuran 40 mikron hanya dapat sampai di bronkus utama. Partikel yang banyak digunakan pada terapi aerosol adalah partikel yang berukuran antara 8 – 15 mikron. 7

Gravitasi (gaya berat). Semakin besar suatu partikel, maka akan semakin cepat pula partikel tersebut menempel pada saluran pernapasan. Akan tetapi keadaan ini juga tergantung pada viskositas dari bahan pelarut yang dipakai. 7

Inersia. Inersia menyebabkan partikel didepositkan. Molekul air mempunyai massa yang lebih besar daripada molekul gas di dalam saluran pernapasan. Partikel yang ada di bronkus lebih mudah bertabrakan daripada partikel yang ada di saluran pernapasan yang besar. Semakin kecil diameter saluran pernapasan, maka akan semakin besar pula pengaruh dari inersia gas. 7

Aktivitas kinetik. Keadaan ini dialami oleh partikel yang lebih kecil dari 0,5 mikron. Semakin besar energi kinetik yang digunakan, maka akan semakin besar kemungkinan terjadinya tabrakan di antara aerosol dan akan semakin mudah terjadinya kolisi dan selain itu juga akan semakin mudah partikel tersebut bergabung. 7

Sifat-sifat alamiah dari partikel. Sifat-sifat alamiah dari partikel ditentukan oleh tonik (osmotik). Larutan yang hipotonik akan mudah kehilangan air akibat dari penguapan. Aerosol elektrik yang dihasilkan oleh ultrasonik nebulizer bermuatan lebih besar daripada mekanikal nebulizer. Pada temperatur yang panas molekul-molekul akan mempunyai ukuran yang lebih besar dan akan mudah jatuh. 7

Sifat-sifat dari pernapasan. Pada prinsifnya jumlah dari aerosol yang berubah menjadi cairan ditentukan pula oleh volume tidal, frekuensi pernapasan, kecepatan aliran inspirasi, dan apakah bernapas melalui mulut atau hidung, dan juga memeriksa faal pernapasan pada umumnya. 7

9.   OBAT/ZAT PADA TERAPI INHALASI

Obat/zat yang biasanya digunakan secara aerosol pada umumnya adalah beta 2 simpatomimetik, seperti metaprotenolol (Alupen), albuterol (Venolin dan Proventil), terbutalin (Bretaire), bitolterol (Tornalat), isoetarin (Bronkosol); Steroid seperti beklometason (Ventide), triamnisolon (Azmacort), flunisolid ( Aerobid); Antikolinergik seperti atropin dan ipratropium (Atrovent); dan Antihistamin sebagai pencegahan seperti natrium kromolin (Intal). 7

Keuntungan dari aerosol ini baik diberikan secara aerosol maupun dengan inhaler, adalah memberikan efek bronkodilator yang maksimal yang lebih baik dari cara pemberian lain, sementara itu pengaruh sistemiknya hampir tidak ada. Oleh karena itu cara pengobatan ini adalah merupakan cara yang paling optimal. 1,7,8

10.   EFEK SAMPING DAN KOMPLIKASI

Jika aerosol diberikan dalam jumlah besar, maka dapat menyebabkan penyempitan pada saluran pernapasan (bronkospasme). Disamping itu bahaya iritasi dan infeksi pada jalan napas, terutama infeksi nosokomial juga dapat terjadi. 7

11.   KESIMPULAN

Terapi inhalasi adalah pemberian obat ke dalam saluran napas dengan cara inhalasi. Terapi inhalasi merupakan satu teknik pengobatan penting dalam proses pengobatan penyakit respiratori (saluran pernafasan) akut dan kronik.

Terapi inhalasi dapat menghantarkan obat langsung ke paru-paru untuk segera bekerja. Dengan demikian, efek samping dapat dikurangi dan jumlah obat yang perlu diberikan adalah lebih sedikit dibanding cara pemberian lainnya. Sayangnya pada cara pemberian ini diperlukan alat dan metoda khusus yang agak sulit dikerjakan, sukar mengatur dosis, dan sering obatnya mengiritasi epitel paru.

Karena terapi inhalasi obat dapat langsung pada sasaran dan absorpsinya terjadi secara cepat dibanding cara sistemik, maka penggunaan terapi inhalasi sangat bermanfaat pada keadaan serangan yang membutuhkan pengobatan segera dan untuk menghindari efek samping sistemik yang ditimbulkannya. Seperti untuk  mengatasi bronkospasme, meng-encerkan sputum, menurunkan hipereaktiviti bronkus, serta mengatasi infeksi.

Penggunaannya terbatas hanya untuk obat-obat yang berbentuk gas atau cairan yang mudah menguap dan obat lain yang berbentuk aerosol. Kontra indikasi mutlak pada terapi inhalasi tidak ada. Kontra indikasi relatif pada pasien dengan alergi terhadap bahan atau obat yang digunakan

Ada beberapa cara dalam terapi inhalasi, yaitu (1) inhaler dosis terukur (MDI, metered dose inhaler), (2) penguapan (gas powered hand held nebulizer), (3) inhalasi dengan intermitten positive pressure breathing (IPPB), serta (4) pemberian melalui intubasi pada pasien yang menggunakan ventilator.

Setelah penggunaan inhaler, basuh dan kumur dengan menggunakan air. Ini untuk mengurangi/menghilangkan obat yang tertinggal di dalam rongga mulut dan tenggorokan, juga untuk mencegah timbulnya penyakit di mulut akibat efek obat (terutama kortikosteroid). Berhasil atau tidaknya pengobatan aerosol ini tergantung pada beberapa faktor, yaitu: ukuran partikel, gaya gravitasi, inersia partikel, aktivitas kinetik, sifat alamiah partikel, dan sifat dari pernapasan pasien.

Obat/zat yang biasanya digunakan secara aerosol pada umumnya adalah beta 2 simpatomimetik, kortikosteroid, antikolinergik, dan antihistamin. Bahaya iritasi saluran napas dan terjadinya bronkospasme serta reaksi hipersensitivitas (obat atau vehikulum) dapat terjadi pada penggunaan terapi ini.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Terapi Inhalasi. Available from: URL: http://www.pharmacy.gov.my/patient_educa tion/inhalation_malay.shtml.
  2. Setiawati A, Zunilda SB, Suyatna FD. Pengantar Farmakologi. Dalam: Ganiswara SG, Setiabudy R, Suyatna FD, Purwantyastuti, Nafrialdi, Ed. Farmakologi dan Terapi. Edisi IV. Bagian Farmakologi FKUI. Jakarta. 1995; 6.
  3. Rasmin M, Rogayah R, Wihastuti R, Fordiastiko, Zubaedah, Elsina S. Prosedur Tindakan Bidang Paru dan Pernapasan–Diagnostik dan Terapi. Bagian Pulmonologi FKUI. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2001; 59-64.
  4. Bia FJ, Brady JP, Brady LW, et al. Kamus Kedokteran Dorlan. Alih Bahasa: Harjono RM, Hartono A, Japaries W, et al. Harjono RM, Oswari J, Ronardy DH, et al, Ed. EGC. Jakarta. 1994; 1910.
  5. Rab T. Prinsip Gawat Paru. Hipokrates. Jakarta. 1996; 1-19.
  6. Ganong WF. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (Review of Medical Physiology). Alih Bahasa: Andrianto P. Oswari J, Ed. EGC. Jakarta. 1995; 609-21.
  7. Rab T. Ilmu Penyakit Paru. Qlintang S, Ed. Hipokrates. Jakarta. 1996; 674-81.
  8. Inhalation Therapy. Available from: URL: http://www.unc/~chooper/classes/voice/ webtherapy/inhalationtx.html.

Leave a comment